Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Kisah Pencarian Gua di Gunung Mekongga Kolaka Utara



Jelajahsultra.com - Empat pendaki kini terjebak di jurang terdalam Mekongga, gunung tertinggi di jazirah tenggara Sulawesi. Sudah berhari-hari mereka menunggu kedatangan tim yang melakukan evakuasi.

Linto (26 tahun), ketua tim ekpedisi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala), Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), yang menjadi saksi hidup kisah para petualang sejati itu, menceritakan kembali kisah pilu perjalanan merekamelakukan pencarian gua terbesar di sulawesi itu.

Tanpa alat tujuh pendaki berkelabat menuruni tebing curam dengan manual. Gerakan mereka begitu berhati-hati. Di punggung carier (tas punggung) melekat kuat. Ribuan butir air dari langit tak hentinya berjatuhan menyerbu bumi, membuat tanah dan bebatuan berlumut semuanya kian menjadi licin.

Sepatu dan baju penuh lumpur. Membuat pergerakan tim ekspedisi pencarian gua terbesar di Sulawesi ini kian melambat. “Ayo berpegang di batu, rumput,”instruksi Linto Mustafa pada rekan-rekannya. Ia melirik jam tangannya.

Waktu menunjukkan pukul 1 siang. Linto optimis dapat menjangkau sungai kecil di balik dinding tebing di bawahnya, untuk membuat basecamp sebelum hari mulai gelap. Linto Mustafa Ibrahim adalah ketua tim ekpedisi pencarian gua Mokongga hari itu.

Pemuda yang kini dipercaya memimpin Mapala Universitas Sulawesi Tenggara ini begitu sadar akan bahaya yang tengah mereka hadapi. Tak jarang Ia harus membantu rekannya yang kelelahan, mengangkat tas jinjing dan menyemangati mereka.

Meski hujan mengguyur deras, lima pendaki sukses mencapai teras tebing di kedalaman 20 meter . Sementara dua pendaki lainnya masih berada di posisi sepuluh meter menggapai dasar. Mereka menunggu cemas dua rekannya itu.

Cuaca dingin pegunungan mekongga membuat serangan sesak napas trkadang menyerang tiba-tiba. Membuat napas mereka naik turun hingga melambatkan gerakan Hudianto (23 tahun). Di sisa tenaganya Ia mencoba menuruni tebing curam.

Baru mencapai sepuluh meter, tiba-tiba kuda-kuda Hudianto goyah. Pemuda bertubuh besar melakukan kesalahan fatal dengan berpijak di tanah licin. Rupanya, hujan deras telah membuat tanah dan batu yang dipenuhi lumut menjadi kian licin. Pohon kecil yang dipakai berpegang menahan beban dirinya tercerabut hingga ke akar.

Hudianto panik bukan kepalang. Ia pasrah. Tubuh yang besar terjun bebas terhempas sejauh lima belas meter dan mendarat persis di atas bebatuan tebing yang tajam. Sekejap Ia berusaha bangkit, namun kembali ambruk.

Sebuah batu lancip menembus paha kanannya. Lima rekannya dibawa panik luar biasa. “Saat kami teemukan tubuh Hudianto yang tak lagi bergerak,”kata Linto. Sementara itu Darah perlahan mengucur dari paha Hudianto dan bagian tubuh lainnya.

“Kami semua tak dapat menahan tangis melihat nasib Hudianto,”kata Linto, sedih. Namun, pemuda yang sudah 7 tahun malang melintang di rimba raya ini kembali sadar dan mencoba bersikap tenang. Ia berusaha mengecek nadi rekannya itu.

“Ternyata Hudianto hanya pingsan, itu membuat kami sedikit lega,”kata Linto. Saat Hudianto siuman rasa optimisme tim kembali menggelora. “Itulah momen paling mengharukan bagi kami,”dengan mata berkaca-kaca.

Dewi keberuntungan nampaknya masih memihak pada para pendaki dari Mapala Unsultra ini. Sebab, jika saja Hudianto terhempas melebar, maka bukan tidak mungkin akan jatuh ke dasar tebing yang diperkirakan dalammnya mencapai 50 meter itu.

Linto memadang di sekelilingnya yang terlihat pepohonan dan batu-batu cadas tajam berserakan.

Siang itu Linto dan rekannya praktis tidak bisa berbuat banyak, selain mengurusi Hudianto yang kesakitan. Mereka tak menyangka akan terjebak di teras tebing yang lebarnya tak lebih dari 4 x 4 meter persegi itu. Kondisi cukup gelap di tebing . sesekali berubah terang benderang karena tersambar cahaya kilat di langit.

Air langit tak berhenti tumpah dari langit, mengguyur tubuh para pendaki tanpa ampun. Kondisi ini kian membuat para pendaki dihantuai rasa cemas. Apalagi kondisi logistic yang kian menipis menambah beban yang begitu besar. Rasa letih di tubuh Linto berpacu dengan waktu. Memaksa Linto harus membuat keputusan cepat.

Ia memutuskan membuat basecamp di teras tebing itu. Tenda didirikan. Alat penerang dinyalakan. Linto pun memimpin musyawarah. “Kami berembuk mencari solusi keluar dari krisis itu. Dan tak ada cara lain, selain mencari pertolongan,”kata Linto.

Tawaran Linto sendiri tak langsung diamini kawan-kawannya. Ada sebagain rekannya memilih mengevakuasi Hudianto bersama-sama keluar dari mulut tubir jurang yang ekstrim itu. Namun kondisi itu dianggap riskan oleh Linto.

Ia memberi pertimbangan logis, dimana kondisi fisik Hudianto yang terluka parah tidak memungkinkan untuk dievakuasi oleh mereka berenam.

“Saya sangat mengerti kondisi teman-teman yang sudah mulai kehabisan tenaga tidak mungkin bisa mengevakuasi Hudianto. Jadi tak ada cara lain selain bergerak keluar mencari pertolongan,”kata Linto.

Setelah semuanya sepakat, Linto mengajukan diri mencari bala bantuan di perkampungan. Tentu saja resikonya harus menuruni tebing hari itu juga. Ia meminta dua orang untuk ikut menemaninya melanjutkan perjalanan.

Dua rekannya, Cula dan Ompe menyanggupi tawaran Linto untuk turun gunung mencari bala bantuan di kampung terdekat.

Sebenarnya Linto cukup sedih meninggalkan empat rekannya (Hudianto, Henggar, Arya dan Guntur) itu, namun sebagai ketua, Ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan jiwa rekan-rekannya, Linto harus rela menempuh perjalanan yang cukup menguras tenaga itu.

Saat hendak pergi, Linto menunjuk Arya sebagai pemimpin baru bagi rekan-rekannya di gua. “Saya cukup tau kecakapan Arya, dia tipe pendaki yang pantang menyerah dan sangat bisa diandalkan,” kata Linto.

Mapala Unsultra berdiri sejak tahun 1992 silam. Basic kepemimpinan memang ada baiknya dan terbukti ampuh menjadi bekal penting bagi para penggiat dunia alam liar. Dan sebagai organisasi survive, Mapala membekali setiap individu anggotanya dengan latihan kepemimpinan diri yang cukup, dampaknya mereka terbiasa dengan kepemimpinan individu yang baik.

Tak hanya memimpin di saat kondisi normal, tetapi juga di saat genting. “Intinya harus ada tumbuh saling percaya. Itu sesuatu yang mutlak, sekaligus modal bagi setiap invidu pencinta alam,”tambah Linto. (bersambung)

Jumat 29 Desember 2011, Linto memulai perjalanan mencari pertolongan. Ia meninggalkan rekan-rekannya dengan kondisi logistic yang sangat terbatas. “Saya meninggalkan mereka dengan bekal tinggal segenggam beras dan beberapa bungkus mie instan,”ungkap Linto, sedih.

Saat itu Ia berada di ketinggian 1800 meter, tepat lokasi kecelakaan yang mereka alami. Bersama dua rekannya, Linto menuruni gunung melalui jalur tebing yang curam. Menggunakan peta mereka menggunakan rute yang biasa digunakan warga pencari rotan, tepatnya di jalur selatan gunung menuju Desa Tamborasi.

Mereka berusaha sekuat tenaga menembus kabut dan hujan. Medan berat memang membuat Linto, harus ekstra hati-hati. Dan dua hari perjalanan yang cukup sulit mereka akhirnya menemukan perkampungan dan menelpon rekan-rekannya meminta bantuan.

Pertengahan Desember 2011 silam, kesibukan nampak di Markas Mapala Universitas Sulawesi Tenggara. Tujuh anggota pencinta alam melakukan packing alat dan logistic untuk kegiatan ekspedisi di gunung Mekongga.

Ini kali ke empat kegiatan Mapala naik turun di gunung tertinggi di Sulawesi tenggara itu, di sepuluh tahun terakhir. Mereka tak hendak menuju puncak Mekongga, melainkan tertarik dengan potensi gua yang konon terbesar di Sulawesi itu.

Gua Mekongga memang tengah menjadi perbincangan hangat dan menjadi incaran para pengelana alam negeri ini. Selain tingkat tantangan pencarian yang harus menjejalahi tebing terjal, juga karena eksplorasi mekongga yang masih minim khusunya di gua alamnya.

Pencarian gua terbesar ini sebenarnya bukan hal baru. Bahkan telah dijajal oleh pendaki-pendaki dari pulau jawa.

“Pernah tahun 2003 silam, kawan-kawan dari Mapala Universitas Atmajaya, melakukan ekspedisi pencarian gua vertical Mekongga, namun mereka tak berhasil menemukan,”kata Linto, paanggilan akrab penggila ekpedisi gunung hutan ini.

Di tahun 2009 Mapala dari jogyakarta (Palawa Atmajaya) juga mencoba menjajal ganasnya hutan Mekongga dengan mencari lembah terdalam itu. Lagi-lagi tim ekpedisi itu gagal mencapai target dan harus pulang dengan tangan hampa.

Penelitian ekpedisi ilmiah potensi alam gua Sulawesi Tenggara memang menantang siapa para pencinta alam. Terutama gua-gua di gunung Mekongga. Apalagi, selama ini belum ada penemuan spekltakuler terhadap gua di berbagai tempat di Sulawesi Tenggara.

Berbagai informasi hasil ekplorasi dari para aktifis (Pencinta Alam) di Sultra, penemuan gua-gua di daerah kerap menjadi pembicaran para penggiat lingkungan, misalnya saja hasil ekplorasi gua di Desa Mangolo, Kabupaten Kolaka dikenal sebagai desa yang memiliki gua terbaik di daratan Sultra.

Menjadi unik karena memiliki kars yang cukup besar. Ada juga gua yang punya nilai sejarah seperti Gua Liakobori di Muna karena berkaitan dengan kehidupan masa prasejarah.

Atau gua Watuburi di Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, yang mempunyai keunikankarena merupakan kombinasi gua vertical dan horisontaldengan panjang mencapai 200 meter. Demikian pula gua alam dengan spesifik vertical terdalam di berada di Pulau Wawonii dan Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe.

Termasuk gua di Tanjung Peropa dengan kedalamaan kurang lebih 100 meter dengan kombinasi vertical horizontal. Bahkan di gua-gua ini terdapat curug atau air terjun (waterpall) yang indah.

Mapala Unsultra pun mencoba membangun kembali impian para pencinta alam itu dengan melakukan riset ke berbagai peta, dan hasilnya mereka menemukan sebuah titik yang diyakini sebuah gua terbesar melalui riset situs goggle map.

“Kami mencoba mengawinkan penemuan melalui riset internet dengan peta bumi, dan kami yakin gua inilah yang dimaksud,”cerita Linto. Dari riset kecil itulah, Linto bersama tim Mapala Unsultra menggodok persiapan ekpedisi.

Bagi penggiat alam, gua punya nilai tersendiri, secara ilmiah gua memiliki ekosistem tersendiri dari eksositem di sekitarnya. Di dalam gua mempunyai kehidupan sendiri, dari segi biologi menarik untuk dipelajari. Punya nilai estetika yang berbeda dengan potensi alam lain di luar gua.

Punya potesni sumber daya alam air yang abadi yang di dalam ada sumber daya alam di gua. “Ada air abadi yang tidak dipahami oleh banyak kalangan, inilah yang menarik minat para pencinta alam untuk mempelajari nilai ilmiah di gua melalui ilmu speologi.